Pages

Minggu, 12 Februari 2012

Pergaulan Anak Metro


“Aku lebih suka jadi seseorang untuk sekarang. Aku harus mengambil keputusan untuk itu. Aku tidak akan membuat keluargaku malu karena diriku. Iya, ini komitmenku sekarang, bahwa aku harus berubah.” Pikirku saat itu ketika sedang berbaring di atas tempat tidur.

Pagi menjelang. Aku terbangun tepat waktu untuk pergi bekerja. Kali ini aku harus kembali bekerja. Yah, time to work again! Segera ku ambil handuk yang terletak di atas kursi berwarna merah plastik dan langsung bergegas untuk mandi. 20 menit kemudian, siaplah aku untuk berangkat bekerja. Kemeja putih yang ku padukan dengan dasi berwarna biru dongker dan celana hitam kain yang ku kenakan pagi itu. Aku bercermin untuk melihat penampilanku saat itu,

“Aku memang keren. Aku memang laki-laki yang ganteng. Dan aku tidak salah lagi dengan keputusanku semalam, bahwa aku harus berubah.” Ucapku sambil bercermin dan merapikan dasi yang ku kenakan.
Sembari selesai berpakaian, segera ku ambil tas kerja yang di hadiahkan Ayahku ketika ulang tahunku kemarin. Aku berpamitan kepada Ibu untuk berangkat bekerja.

“Bu, aku pamit dulu yah?” Seperti biasa aku menyalami tangan Ibu sebelum keluar rumah.

“Iya, hati-hati di jalan. Jangan ngebut di jalan yah?” Nasihat Ibuku.

“Iya, Bu.” Jawabku sambil menuju garasi mobil.

Sesampai di kantor, aku langsung bergegas ke ruangan kerjaku untuk menyelesaikan pekerjaanku yang sempat tertunda.

“Oh tidak, kerjaanku banyak sekali ternyata. Aku harus bagaimana ini? Tidak mungkin aku kerjakan hari ini dengan tumpukan kerjaan semacam ini.” Pikirku bingung.

Tiba-tiba dari arah sebelah kanan, sahabatku Revi yang sekantor denganku memanggil dengan teriakkan yang histeris dan menuju ruanganku.

“Hei brooo. Lu dateng yah? Gue kira lu gak bakal kerja lagi. Haha, mau jadi apa lo kalo gak kerja, hah? Mau jadi banci lo?” Ucap sahabatku yang ku kenal dia sejak SMP.

“Ah, bisa aja lo. Gue mau jadi sukses. Gue mau bahagiain orang tua gue. Masa lo gak ngedukung gue sih?” Terangku sambil meyakinkan dia.

“Hei, lo udah serius nih mau balik kerja? Biar gue gak setengah-setengah bantuin lo, nyadarin lo. Gue gak suka pas abis gue nasihatin lo, eh lo malah gak masuk-masuk lagi. Emang gue ini cuma robot yang di ciptakan buat nasihatin lo doang?” Ejek Revi sambil menepuk pundakku.

“Gaklah bro. Lo kan sahabat gue. Cuma lo yang bisa bantuin gue sekarang.” Jelasku dengan wajah permohonan.

“Gue harus bantuin apa lagi sekarang?” Tanya Revi pasrah.

“Gue mau jadi gue yang dulu lagi Rev. Gue gak mau lagi termakan dengan pergaulan gue sekarang. Gue tahu gue salah, Rev.” Ucapku dengan nada penyesalan.

“Terus, gue mau bantu apa? Gue harus sulap buat rubah kelakuan lo? Atau gue harus ngeluarin alat pinjaman dari Doraemon? Hahaha, lucu lo.” Bantah Revi.

“Gaklah, lo cukup bantu untuk nyadarin gue lagi. Gue butuh dorongan dari sahabat, Rev.”

“Ya sudah, sekarang juga gue bilang yah sama lo, lo berhenti bergaul sama om-om gak jelas, lo berhenti nyari duit dengan cara begituan dan yang paling lo ingat, lo harus berhenti jadi banci cuma gara-gara lo stres kehilangan cewek lo. Eh, lo tuh ganteng lagi bro, ngapain lo harus jadi banci, hah? Mabok kali lo.” Jelas Revi dengan nada kesal.

“Iya, Rev. Gue sadar sekarang. Gue udah ngambil cara yang salah. Dan itu sebagai pembelajaran buat gue. Gue sadar, gue gak punya Livi lagi sekarang, dan dengan bodohnya gue jadi banci gara-gara hal itu. Makasih bro, lo udah bikin gue semangat lagi.” Kataku dengan mata yang berkaca-kaca. 

"Eh tunggu, lo beneran mau berubah kan? Jujur aja gue ngeri deket-deket lo, takut ntar lo grepe-grepe gue hahaha!!” Revi meledekku kemudian lari menghamburkan kertas dan keluar ruangan.

 "Sialan lo Rev!" Umpatku sambil melempar gumpalan kertas kearahnya.

Aku memulai aktivitas pagiku dengan membereskan dokumen yang berserakan di atas meja. Kalau meja sudah rapi, pasti akan lebih mudah menyelesaikan pekerjaan yang bertumpuk ini. Aku hampir menyelesaikan tumpukan dokumen terakhir ketika tiba-tiba ada selembar foto meluncur mulus ke bawah meja. Aku membungkuk untuk memungut foto itu. Foto sepasang pria dan wanita sedang bercengkrama di tepi pantai. Si wanita mengenakan kaos kuning dan celana pendek, rambut panjangnya dibiarkan tergerai liar tertiup angin. Sedangkan prianya mengenakan kaos kerah salur hitam putih dan celana pendek. Iya, itu fotoku dan Livi, wanita yang sudah mengokupasi hatiku selama 7 tahun lamanya meskipun orangtuanya tidak pernah setuju putri tunggalnya berhubungan dengan pegawai perusahaan konstruksi rendahan seperti aku. Foto itu diambil ketika kami sedang berlibur di pantai pangandaran sekedar melepas penat dari jeratan pekerjaan dan hiruk pikuk ibukota. Memandangi foto itu mau tak mau membawa ingatanku berkelana pada suatu malam di bulan Desember yang belum sanggup aku lupakan sampai saat ini.

 ***

"Maaf Bas, ini bukan mauku tapi mau gimana lagi. Mama sama papa tetep gak bisa nerima kamu. Dan aku bulan depan sudah harus menikah dengan Erik, anak dari kolega papa yang anggota DPR juga. Aku gak bisa apa-apa, aku gak mungkin mengecewakam mama dan papa karena perjodohan ini juga penting untuk kelangsungan bisnis papa." Livi berurai air mata menjelaskan, maskaranya sampai luntur mengotori pipinya yang chubby dan merona merah.

Aku kehilangan kata-kata, tepatnya tak mampu berkata-kata untuk menghapus kesedihannya. Aku hanya bisa diam menahan hatiku yang remuk redam dan memeluk wanita terindahku itu untuk yang terakhir kalinya. Esoknya ketika aku ingin mengirimkan sapaan pagi untuknya seperti yang biasa kulakukan setiap pagi, ternyata nomor ponselnya tidak dapat dihubungi, contact BBnya pun menghilang dari BlackBerryku, begitu juga YM dan Facebook. Aku mencoba menghubungi Sandra, Lisa dan Angel sahabat Livi tapi mereka menjawab tidak tahu. Livi benar-benar hilang ditelan bumi. Hidupku hancur, seharian aku tidak bisa konsentrasi di kantor. Pak Haris, atasanku berkali-kali menegurku karena bengong saat rapat divisi. Hari itu juga aku mengajukan cuti 2 minggu kepada pak Harris. Awalnya beliau keberatan, namun setelah mendengar alasan dan melihat keadaanku saat itu akhirnya beliau luluh dan menyetujui cuti panjangku.

Pulang kantor aku mampir dulu di cafe favoritku, dengan tampang seperti kemeja yang belum disetrika, aku menyeruput capuccino dengan tatapan kosong. Aku memang tidak minum alkohol dan merokok. Tiba-tiba di tengah lamunanku, seorang pria berusia sekitar 40an berkemeja kotak-kotak biru duduk di menjajariku. Kita berkenalan dan berbincang sejenak, namanya Freddy, pemilik Production House di daerah Jakarta Selatan. Entah mantra apa yang dia rapalkan padaku sehingga malam itu aku menurut untuk ikut pulang bersamanya dan malam itu menjadi awal dari malam-malam paling kelam dalam hidupku. Aku tidak pernah pulang ke rumah selama 2 minggu, setiap malam aku mabuk-mabukan di klub malam, sex bebas, dan parahnya lagi aku jadi banci yang melayani nafsu om-om gay teman om Freddy. Sampai suatu saat Revi menemukanku salah satu koridor Apartemen mewah di Jakarta. Ia membujukku pulang ke rumah dan membopongku sampai ke mobilnya, katanya ibuku setiap hari menangis mencariku. Ayahku pun sampai sakit-sakitan memikirkanku. Esok paginya aku terbangun di atas tempat tidur berseprai putih, ayah dan ibu duduk tertidur di sebelah tempat tidurku. Di ujung kamar, terlihat Revi yang juga tertidur sambil duduk di atas kursi sofa. Aku ada di rumah sakit rupanya. Ibu seolah bisa merasa kalau aku sudah siuman. Beliau langsung terbangun dan menciumiku. Ayah dan Revi juga tampak bahagia melihat aku sudah siuman.

***
"Mas Baskara maaf, dipanggil bapak ke ruangannya." Suara Agatha, sekretaris Pak Harris membuyarkan lamunanku.
Aku beranjak, memberikan anggukan kepala kepada Agatha kemudian memasukkan foto itu ke dalam tong sampah. Iya aku harus berubah!


(Tulisan kolaborasiku @ikachibii bareng @rintadita)

5 komentar:

  1. Wau... ternyata tulisan adik Rizka keren loh.., siapa bilang msh newbie..., alur ceritanya mengalir dan enak dibaca...

    BalasHapus
  2. jadi inget waktu zaman cari kerja dulu, thanks artikelnya jadi ada spirit baru buat semangat kerja..

    BalasHapus
  3. @Insan Robbani: hehe, makasih kakaak. ini hasil tulisan kolaborasi, jadi 1 cerita ada 2 otak yang berpikir :D

    @Uzay Gingsull: yeah, fighting :)

    BalasHapus