“Aku lebih suka jadi seseorang untuk sekarang. Aku harus
mengambil keputusan untuk itu. Aku tidak akan membuat keluargaku malu karena
diriku. Iya, ini komitmenku sekarang, bahwa aku harus berubah.” Pikirku saat
itu ketika sedang berbaring di atas tempat tidur.
Pagi menjelang. Aku terbangun tepat waktu untuk pergi
bekerja. Kali ini aku harus kembali bekerja. Yah, time to work again!
Segera ku ambil handuk yang terletak di atas kursi berwarna merah plastik dan
langsung bergegas untuk mandi. 20 menit kemudian, siaplah aku untuk berangkat
bekerja. Kemeja putih yang ku padukan dengan dasi berwarna biru dongker dan
celana hitam kain yang ku kenakan pagi itu. Aku bercermin untuk melihat
penampilanku saat itu,
“Aku memang keren. Aku memang laki-laki yang ganteng. Dan
aku tidak salah lagi dengan keputusanku semalam, bahwa aku harus berubah.”
Ucapku sambil bercermin dan merapikan dasi yang ku kenakan.
Sembari selesai berpakaian, segera ku ambil tas kerja yang
di hadiahkan Ayahku ketika ulang tahunku kemarin. Aku berpamitan kepada Ibu
untuk berangkat bekerja.
“Bu, aku pamit dulu yah?” Seperti biasa aku menyalami tangan
Ibu sebelum keluar rumah.
“Iya, hati-hati di jalan. Jangan ngebut di jalan yah?”
Nasihat Ibuku.
“Iya, Bu.” Jawabku sambil menuju garasi mobil.
Sesampai di kantor, aku langsung bergegas ke ruangan kerjaku
untuk menyelesaikan pekerjaanku yang sempat tertunda.
“Oh tidak, kerjaanku banyak sekali ternyata. Aku harus
bagaimana ini? Tidak mungkin aku kerjakan hari ini dengan tumpukan kerjaan
semacam ini.” Pikirku bingung.
Tiba-tiba dari arah sebelah kanan, sahabatku Revi yang
sekantor denganku memanggil dengan teriakkan yang histeris dan menuju
ruanganku.
“Hei brooo. Lu dateng yah? Gue kira lu gak bakal kerja lagi.
Haha, mau jadi apa lo kalo gak kerja, hah? Mau jadi banci lo?” Ucap sahabatku
yang ku kenal dia sejak SMP.
“Ah, bisa aja lo. Gue mau jadi sukses. Gue mau bahagiain
orang tua gue. Masa lo gak ngedukung gue sih?” Terangku sambil meyakinkan dia.
“Hei, lo udah serius nih mau balik kerja? Biar gue gak setengah-setengah
bantuin lo, nyadarin lo. Gue gak suka pas abis gue nasihatin lo, eh lo malah
gak masuk-masuk lagi. Emang gue ini cuma robot yang di ciptakan buat nasihatin
lo doang?” Ejek Revi sambil menepuk pundakku.
“Gaklah bro. Lo kan sahabat gue. Cuma lo yang bisa bantuin
gue sekarang.” Jelasku dengan wajah permohonan.
“Gue harus bantuin apa lagi sekarang?” Tanya Revi pasrah.
“Gue mau jadi gue yang dulu lagi Rev. Gue gak mau lagi
termakan dengan pergaulan gue sekarang. Gue tahu gue salah, Rev.” Ucapku dengan
nada penyesalan.
“Terus, gue mau bantu apa? Gue harus sulap buat rubah
kelakuan lo? Atau gue harus ngeluarin alat pinjaman dari Doraemon? Hahaha, lucu
lo.” Bantah Revi.
“Gaklah, lo cukup bantu untuk nyadarin gue lagi. Gue butuh
dorongan dari sahabat, Rev.”
“Ya sudah, sekarang juga gue bilang yah sama lo, lo berhenti
bergaul sama om-om gak jelas, lo berhenti nyari duit dengan cara begituan dan
yang paling lo ingat, lo harus berhenti jadi banci cuma gara-gara lo stres
kehilangan cewek lo. Eh, lo tuh ganteng lagi bro, ngapain lo harus jadi banci,
hah? Mabok kali lo.” Jelas Revi dengan nada kesal.
“Iya, Rev. Gue sadar sekarang. Gue udah ngambil cara yang
salah. Dan itu sebagai pembelajaran buat gue. Gue sadar, gue gak punya Livi
lagi sekarang, dan dengan bodohnya gue jadi banci gara-gara hal itu. Makasih
bro, lo udah bikin gue semangat lagi.” Kataku dengan mata yang berkaca-kaca.
"Eh tunggu, lo beneran mau berubah kan? Jujur aja gue
ngeri deket-deket lo, takut ntar lo grepe-grepe gue hahaha!!” Revi meledekku
kemudian lari menghamburkan kertas dan keluar ruangan.
"Sialan lo
Rev!" Umpatku sambil melempar gumpalan kertas kearahnya.
Aku memulai aktivitas pagiku dengan membereskan dokumen yang
berserakan di atas meja. Kalau meja sudah rapi, pasti akan lebih mudah
menyelesaikan pekerjaan yang bertumpuk ini. Aku hampir menyelesaikan tumpukan
dokumen terakhir ketika tiba-tiba ada selembar foto meluncur mulus ke bawah
meja. Aku membungkuk untuk memungut foto itu. Foto sepasang pria dan wanita
sedang bercengkrama di tepi pantai. Si wanita mengenakan kaos kuning dan celana
pendek, rambut panjangnya dibiarkan tergerai liar tertiup angin. Sedangkan
prianya mengenakan kaos kerah salur hitam putih dan celana pendek. Iya, itu
fotoku dan Livi, wanita yang sudah mengokupasi hatiku selama 7 tahun lamanya
meskipun orangtuanya tidak pernah setuju putri tunggalnya berhubungan dengan
pegawai perusahaan konstruksi rendahan seperti aku. Foto itu diambil ketika
kami sedang berlibur di pantai pangandaran sekedar melepas penat dari jeratan
pekerjaan dan hiruk pikuk ibukota. Memandangi foto itu mau tak mau membawa
ingatanku berkelana pada suatu malam di bulan Desember yang belum sanggup aku
lupakan sampai saat ini.
***
"Maaf Bas, ini bukan mauku tapi mau gimana lagi. Mama
sama papa tetep gak bisa nerima kamu. Dan aku bulan depan sudah harus menikah
dengan Erik, anak dari kolega papa yang anggota DPR juga. Aku gak bisa apa-apa,
aku gak mungkin mengecewakam mama dan papa karena perjodohan ini juga penting
untuk kelangsungan bisnis papa." Livi berurai air mata menjelaskan,
maskaranya sampai luntur mengotori pipinya yang chubby dan merona merah.
Aku kehilangan kata-kata, tepatnya tak mampu berkata-kata
untuk menghapus kesedihannya. Aku hanya bisa diam menahan hatiku yang remuk
redam dan memeluk wanita terindahku itu untuk yang terakhir kalinya. Esoknya
ketika aku ingin mengirimkan sapaan pagi untuknya seperti yang biasa kulakukan
setiap pagi, ternyata nomor ponselnya tidak dapat dihubungi, contact BBnya pun
menghilang dari BlackBerryku, begitu juga YM dan Facebook. Aku mencoba
menghubungi Sandra, Lisa dan Angel sahabat Livi tapi mereka menjawab tidak
tahu. Livi benar-benar hilang ditelan bumi. Hidupku hancur, seharian aku tidak
bisa konsentrasi di kantor. Pak Haris, atasanku berkali-kali menegurku karena
bengong saat rapat divisi. Hari itu juga aku mengajukan cuti 2 minggu kepada
pak Harris. Awalnya beliau keberatan, namun setelah mendengar alasan dan
melihat keadaanku saat itu akhirnya beliau luluh dan menyetujui cuti panjangku.
Pulang kantor aku mampir dulu di cafe favoritku, dengan
tampang seperti kemeja yang belum disetrika, aku menyeruput capuccino dengan
tatapan kosong. Aku memang tidak minum alkohol dan merokok. Tiba-tiba di tengah
lamunanku, seorang pria berusia sekitar 40an berkemeja kotak-kotak biru duduk
di menjajariku. Kita berkenalan dan berbincang sejenak, namanya Freddy, pemilik
Production House di daerah Jakarta Selatan. Entah mantra apa yang dia rapalkan
padaku sehingga malam itu aku menurut untuk ikut pulang bersamanya dan malam
itu menjadi awal dari malam-malam paling kelam dalam hidupku. Aku tidak pernah
pulang ke rumah selama 2 minggu, setiap malam aku mabuk-mabukan di klub malam,
sex bebas, dan parahnya lagi aku jadi banci yang melayani nafsu om-om gay teman
om Freddy. Sampai suatu saat Revi menemukanku salah satu koridor Apartemen
mewah di Jakarta. Ia membujukku pulang ke rumah dan membopongku sampai ke
mobilnya, katanya ibuku setiap hari menangis mencariku. Ayahku pun sampai
sakit-sakitan memikirkanku. Esok paginya aku terbangun di atas tempat tidur
berseprai putih, ayah dan ibu duduk tertidur di sebelah tempat tidurku. Di
ujung kamar, terlihat Revi yang juga tertidur sambil duduk di atas kursi sofa. Aku
ada di rumah sakit rupanya. Ibu seolah bisa merasa kalau aku sudah siuman. Beliau
langsung terbangun dan menciumiku. Ayah dan Revi juga tampak bahagia melihat
aku sudah siuman.
***
"Mas Baskara maaf, dipanggil bapak ke ruangannya."
Suara Agatha, sekretaris Pak Harris membuyarkan lamunanku.
Aku beranjak, memberikan anggukan kepala kepada Agatha kemudian
memasukkan foto itu ke dalam tong sampah. Iya aku harus berubah!
(Tulisan kolaborasiku @ikachibii bareng @rintadita)
waaaahhhh.. bagus
BalasHapusterima kasih teman :)
BalasHapusWau... ternyata tulisan adik Rizka keren loh.., siapa bilang msh newbie..., alur ceritanya mengalir dan enak dibaca...
BalasHapusjadi inget waktu zaman cari kerja dulu, thanks artikelnya jadi ada spirit baru buat semangat kerja..
BalasHapus@Insan Robbani: hehe, makasih kakaak. ini hasil tulisan kolaborasi, jadi 1 cerita ada 2 otak yang berpikir :D
BalasHapus@Uzay Gingsull: yeah, fighting :)