Pages

Sabtu, 01 Februari 2014

Waktu yang Bicara

Entah benci, entah senang, entah marah, entah kecewa sehingga membuat ia beranjak dari tempat sebelumnya. Dengan wajah yang begitu datar ia meninggalkan tempat itu layaknya meninggalkan sebuah tempat yang tak berpenghuni sama sekali. Layaknya hutan, tempat itu bahkan lebih dari sebuah hutan, menurutnya.

Malam yang dibalut dengan cuaca yang begitu dingin dan berangin saat itu mungkin lebih membuat tekadnya kuat untuk pergi. Tanpa menghitung maju dari satu sampai lima rasanya tak perlu karena ia tidak membutuhkan angka untuk menghabiskan waktu menunggu sampai angkanya selesai dihitung. Dengan modal nekad ia beranjak dan pergi.

Tempat itu berubah menjadi sangat sunyi. Suara cicak begitu terdengar saat ia hendak menangkap mangsanya saking sunyinya. Suara detik yang berjalan dalam sebuah jam tangan kecil juga ikut terdengar. Anda bisa merasakan kesunyian itu bukan?

Keputusan yang diambilnya malam itu meninggalkan jejak yang begitu mendalam. Kenapa ia harus meninggalkan tempat yang sudah begitu bersahabat lama dengannya? Apakah ia tidak memikirkan bahwa kamar itu akan merindukan sosok sepertinya? Kamar yang sudah menampung dari teriknya panas matahari dan turunnya air hujan yang begitu deras selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir semenjak ditinggal ibunya. Begitukah sampai ia setega itu? Apakah ia tidak memikirkan bahwa kamar itu adalah warisan dari ibunya?

Semenjak kejadian itu ia begitu cuek dengan apa yang terjadi dalam dirinya. Saran maupun masukkan dari orang lain dianggapnya hanya sebagai angin yang lewat tanpa harus disimpan dan diingat. Ia tak mengungkit lagi bahkan tak mau tahu lagi. Tak ada yang membahas justru membuat ia merdeka untuk tak lagi menunggunya. Karena ia sosok yang begitu keras dan pemberani untuk mengambil keputusan, maka hanya orang tertentu yang bisa mengalahkan ego sendiri dibanding egonya yang begitu tinggi.